Rabu, 13 April 2011

Apa yang Salah dengan Pendidikan Kita?

Pendidikan merupakan salah satu bahasan topik yang selalu menarik, sebab kualitas pendidikan suatu negara akan menentukan kualitas sumber daya manusia yang dihasilkan, dan hal tersebut berarti mempengaruhi persepsi negara lain terhadap kualitas manusia dari negara yang dimaksud. Berbicara pendidikan pada level makro, yang mencakup kualitas pendidikan dibandingkan dengan negara lain di dunia, Indonesia tampaknya belum bisa membanggakan dirinya. Berdasarkan data dalam Education For All (EFA) Global Monitoring Report 2011: Di Balik Krisis: Konflik Militer dan Pendidikan yang dikeluarkan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO), indeks pembangunan pendidikan (education development index/EDI) Indonesia menurut data tahun 2008 adalah 0,934. Nilai ini menempatkan Indonesia di posisi ke-69 dari 127 negara di dunia. Jika menganut pada analisis statistik sederhana, Indonesia berada pada level median, atau di tengah-tengah, sayangnya hal ini tidak lantas disebut indeks pembangunannya berarti rata-rata. Untuk negara sebesar Indonesia, indeks tersebut dapat dibilang masih rendah.

Lantas permasalahan apa yang menyebabkan kualitas pendidikan negara kita masih rendah? Hampir semua praktisi pendidikan meng-kambinghitam-kan masalah anggaran pendidikan, yang kemudian merembet pada permasalahan-permasalahan lainnya mulai dari kualitas pengajar, sarana-prasarana, hingga masalah korupsi pejabat dinas. Lalu apakah benar anggaran pendidikan menjadi sumber permasalahan utama? Hal ini menjadi menarik untuk dibahas.

Undang-undang yang beraku di negara ini secara tegas menyebutkan anggaran pendidikan adalah 20% anggaran negara. Jika benar jumlah tersebut dialokasikan dan digunakan sebagaimana mestinya, maka seharusnya minimal tak ada lagi anak di Indonesia ini yang putus sekolah gara-gara tidak mampu membayar sekolah. Apalagi dengan munculnya sekolah-sekolah swasta yang bisa mengurangi beban pemerintah yang rentan disorot karena banyaknya anak tak sekolah berkeliaran di mana-mana. Adanya otonomi daerah juga membantu pemerintah menuntaskan wajib belajar 9 tahun untuk seluruh anak Indonesia, bantuan dari anggaran pendidikan daerah tersebut harusnya bisa menambah jumlah anggaran untuk pendidikan anak Indonesia. Anggaran tersebut harusnya masih tersisa untuk memfasilitasi pembangunan sekolah, penyediaan buku-buku pelajaran, biaya administrasi, dll. Akan tetapi masih saja pendidikan di Indonesia diakatakan payah.

Sampai sejauh ini memang persoalan anggaran pantas untuk dijadikan sumber permasalahan, apalagi jika ditambahkan persoalan klasik negara ini, korupsi. Anggaran dana pendidikan tak sampai 20%, itupun sebagian masuk ke kantong pejabat. Penggunaannya pun kadang salah tempat, misalnya saja untuk menggaji guru yang seharusnya berasal dari anggaran dana lain di luar anggaran pendidikan. Kurang meratanya alokasi dana, misalanya saja daerah terpencil selalu tak mendapat jatah, dan persoalan klasik lainnya yang sudah latah didengungkan oleh setiap suara yang peduli pendidikan Indonesia.

Akan tetapi masih ada faktor lain yang punya andil hampir sama besarnya, atau mungkin lebih besar dari faktor anggaran tersebut, yaitu persoalan mental. Mental menjadi faktor psikologis yang menjadi momok rendahnya kualitas pendidikan kita. Kita sudah terlalu lama menjadi negara inferior jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Penjajahan yang terlalu lama membuat kita menjadi negara pemalu yang selalu merasa rendah tanpa ada usaha untuk menjadi lebih terhormat. Mental-mental tersebut terlihat dari betapa banyaknya yang menonjolkan rendahnya kualitas pendidikan kita dibandingkan dengan prestasi anak-anak bangsa kita. Persoalan mental membuat banyak sekali orangtua yang menganggap pendidikan bukanlah suatu faktor penting untuk memperbaiki kualitas hidup mereka, karena menurut mereka tak ada gunanya menjadi pintar jika mereka tetap miskin. Sehingga terlihat jelas bukan anak-anaknya yang terpaksa putus sekolah, tetapi memang tidak mau atau tidak diperbolehkan untuk bersekolah. Wajar jika kualitas pembangunan pendidikan negara ini tidak meningkat.

Faktor mentalitas ini jika kemudian ditambah dengan moralitas yang rendah akan menghasilkan orang-orang korup yang merugikan negara. Korupsi sudah mengakar kuat di dunia pendidikan, dan mungkin memang ada yang dihasilkan dari dunia pendidikan. Pada akhirnya dunia pendidikan lantas menjadi lahan empuk untuk korupsi. Hasilnya adalah anggaran yang besar tapi banyak sekali sekolah yang roboh, dana melimpah tapi banyak sekolah yang kekurangan buku, pejabat dinas yang semakin kaya tapi banyak anak yang kemudian putus sekolahnya dengan alasan biaya.

Memperbaiki mental dan moralitas memang tidak mudah, sinergitas dari berbagai belah pihak sangat diperlukan. Pendidikan bukan lagi persoalan di dalam sekolah, tetapi sudah seharusnya berawal dari keluarga, lembaga pendidikan, dan semua instansi yang terkait. Di sisi lain, anggaran dana harus diperhatikan alokasinya, pengawasan dari berbagai pihak mutlak dilakukan. Semua berawal dari sekolah, dimana kualitas manusia ditentukan. Demi pendidikan Indonesia mari kita bersama memperjuangkannya.

0 komentar:


ShoutMix chat widget