Jumat, 22 April 2011

HIDUP ITU INDAH, DENGAN ATAU TANPA ROKOK

Saat menulis tulisan ini, saya sedang menikmati sebatang rokok di sebuah rumah makan yang tergolong cukup mewah bagi mahasiswa yang masih mengandalkan hidup dari kiriman orang tua seperti saya. Kemudian datang dua orang wanita ke rumah makan ini, kebetulan kursi yang tersisa tinggal 2 tepat di samping saya. Tampak jelas mereka sangat mempertimbangkan duduk di samping seseorang yang merokok, sedikit berbincang satu sama lain, dan akhirnya mereka berdua pergi meninggalkan rumah makan. Saya hanya melirik mereka pergi dan meneruskan menulis, sambil tentu saja, menikmati sisa rokok saya. Sebenarnya ada sedikit rasa tidak enak, tetapi tak apalah, toh tak ada larangan merokok di sini.

Kejadian yang saya alami di atas sangat awam terjadi di negeri ini. Kecuali di ruang ber-AC, peraturan tentang merokok sepertinya tidak lagi mempertimbangkan batas estetika. Hormat menghormati antara hak perokok aktif dan hak perokok pasif saat ini masih sangat kabur. Bagi sebagian orang, mungkin hanya batasan “kesungkanan” yang menyebabkan seorang perokok tidak merokok di area publik.

Ketidak jelasan ini ditanggapi serius oleh beberapa pemerintah daerah yang memberlakukan aturan larangan merokok di tempat umum, lengkap dengan penjelasan definisi tempat umum yang dimaksud, beserta sanksi-sanksi yang mungkin dijatuhkan. Aturan ini kemudian memunculkan dilema ketika banyak pihak yang merasa dirugikan, terutama kalangan produsen dan penikmat rokok. Namun pemda-pemda tersebut juga pasti mendapat tekanan dari pemerhati kesehatan yang sangat mendukung aturan ini.

Peraturan-peraturan ini kemudian berubah menjadi aturan “banci” ketika pelaksanaannya hanya setengah-setengah. Penegak aturan ini sepertinya juga masih enggan mengingatkan para perokok yang merokok di tempat umum yang menurut aturan jelas melanggar. Saat seperti ini terlihat jelas bahwa perokok memiliki bargaining position yang lebih tinggi daripada yang tidak merokok. Perokok-perokok pasif pada akhirnya memilih untuk menghindar daripada terlibat selisih paham dengan kaum perokok.

Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa aturan tentang merokok di tempat umum masih belum begitu mengikat. Entah karena sosialisasi yang kurang atau memang tidak dipedulikan, yang jelas aturan ini masih jauh dari efektif. Inilah yang kemudian sempat memunculkan indikasi adanya konspirasi-kospirasi tertentu yang menghalangi penegakan aturan ini, dan yang dicurigai adalah para pihak yang mempunyai kepentingan atas penjualan rokok. Saya tidak memiliki data yang akurat mengenai hal ini, jadi saya tidak akan membahasnya lebih lanjut.

Merokok, Publik atau Privat?

Secara kodrat, manusia diberkahi dengan naluri berbuat baik. Pada dasarnya semua manusia baik, akan tetapi perspektif berbeda kadang membuat mereka dapat dikatakan jahat. Manusia yang baik salah satunya adalah mereka yang mau menghormati dan menghargai hak orang lain, dan perbuatan tersebut pada dasarnya bersifat naluriah, tanpa harus ada aturan yang jelas mengaturnya.

Melihat fenomena-fenomena di atas, selisih paham antara perokok dan non perokok dapat dipahami dengan prinsip saling menghormati dalam kaidah naluriah. Hal ini menjadi satu-satunya harapan ketika prinsip aturan yang dibuat tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya.

Para perokok pada dasarnya mau menghormati hak non perokok, dan non perokok juga sebenrnya mau menerima hak dari perokok. Masalahnya adalah dimana mereka bisa dipertemukan? Aturan hanya akan membuat perselisihan menjadi semakin panjang. Aturan tersebut menjadi pegangan kuat para non perokok, sedangkan perokok masih dapat berdalih dengan rokok yang mampu menghidupi jutaan keluarga di Indonesia. Pegangan yang sama-sama kuat ini pada akhirnya justru tidak akan menemui titik ujung jika tidak menyertakan prinsip moralitas di dalamnya.

Naluri dan moralitas dari masing-masing pihak ini bisa dijadikan solusi untuk permasalahan ini. Jika aturan melarang merokok pada akhirnya justru menimbulkan konflik kepentingan, lebih baik ditiadakan saja. Pendidikan moral untuk saling menghormati hak orang lain lebih penting untuk dikedepankan. Merokok itu adalah hak, tidak merokok juga merupakan hak, yang menjadi kewajiban adalah bagaimana kita bisa menghormati satu sama lain. Bukankah saling menghormati itu tidak ada aturannya? Sikap menghormati itu sudah ada dalam naluri manusia, yang merupakan warisan dari Tuhan, kita hanya perlu melatih dan menerapkannya saja.

Kesimpulannya, merokok itu tidak akan lagi menjadi area publik maupun privat jika kita bisa saling menghargai orang lain. Aturan merokok tidak akan berjalan efektif tanpa adanya prinsip saling menghargai tersebut, dan sikap menghargai tersebut wajib dikedepankan, dan menjadi kewajiban kita untuk mengajarkannya pada adikadik penerus kita. Pada akhirnya, tidak ada yang perlu dirugikan dengan adanya rokok. Hidup ini indah kawan, dengan atau tanpa rokok.



KOMUNITAS KRETEK

0 komentar:


ShoutMix chat widget