Perkembangan industri perfilman sudah melalui babak baru yang jauh lebih maju dari perkembangan di bidang lain. Saat ini perpaduan berbaagai macam teknologi telah membuat film menjadi sebuah tontonan yang berkualitas sekaligus menghibur. Jumlahnya pun mengalami peningkatan, mulai dari film independen sampai dengan film dari studio besar dengan bujet jutaan dollar. Ketika film masih berupa potongan gambar bergerak yang tanpa suara juga tentunya pertama kali ditayangkan sekitar awal abad ke 20, tidak pernah sekalipun terbayang akan lahir film film maha dasyat dengan efek yang sangat sulit dibayangkan dalam era tersebut. Perkembangan ini tentu membawa dampak yang positif dari para penikmat film itu sendiri.
Tahun 1920-1940an ketika studio RKO dan MGM begitu mendominasi industri di dunia, film yang ditawarkan mulai mengalihkan platformnya dari film yang penuh dengan nuansa art (dengan mengandalkan kualitas acting yang sangat menonjol) menjadi film yang penuh dengan unsure hiburan dengan cerita yang mulai melemah. Walaupun kenyataan ini sempat termentahkan oleh kemunculan “King Kong” yang memadukan unsure cerita yang melegenda dengan teknologi dan efek yang pada jamannya sudah sangat luiar biasa sehimngga film ini kemudian banyak di remake di era modern. Perkembangan selanjutnya banyak berkutat pada film-film yang mengupas peperangan karena memang pada saat itu dunia tengah bergejolak dengan perang dunia. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh para produser untuk menciptakan film dengan genre baru yaitu film documenter. Walaupu masih dikemas dengan format yang cukup sederhana, genre ini mulai mendapatkan perhatian dari para penikmat film. Pada era ini juga ditandai dengan munculnya actor kawakan Charlie Caplin yang membawa film parody mencapai tingkat kepopuleran yang tinggi.
Ketika Amerika memasuki era kejenuhan luar biasa, industri perfilman pun mengalami imbas yang cukup berarti. Namun demikian, berkat fenomena ini, muncul ide untuk menghasilkan film-film yang murni hiburan tanpa unsure cerita yang berat. Genre drama percintaan yang dipopulerkan oleh “Casablanca “ mulai mendapatkan saingan dengan munculnya film-film ringan dan menghibur dengan iconya Frank Sinatra. Di era ini, kualitas film pun mulai mengalami peningkatan. Kualitas gambar pun mulai diperbaiki dan diimbangi dengan kualitas bioskop tempat film diputar.
Memasuki era modern, banyak bermunculan genre film yang menarik, mulai dari suspence thriller dengan masternya Alfred Hithcock, genre gore horror yang mulai popular sejak kemunculan tokoh Jason dan Freddy Krueger, serta komedi slapstick yang dipopulerkan oleh “dumb and dumberer”. Kemunculan genre ini pun mulai meraih para penggemarnya sendiri. Penonton mulai bisa memilih film yang dinginkan karena jumlah film yang dimunculkan pun sangat beragam. Dan tentu saja hal ini berimplikasi pada persaingan para produsen film untuk berlomba menjadi yang terbaik dan mengeruk keuntungan sebesar-besarnya.
Dengan adanya fenomena tersebut, ada banyak hal yang dikorbankan. Adalah sangat sulit ketika memadukan sebuah film yang sangat menonjolkan segi art dan kualitas yang tinggi dengan kebutuhan penonton akan hiburan yang ringan. Hanya ada beberapa film yang sukses secara kualitas maupun komersil seperti trilogy “the lord of the rings” atau film terlaris sepanjang masa, “Titanic”. Dengan adanya perkembangan teknologi yang wah, banyak studio besar yang mengalihkan produksinya menjadi berorientasi komersil. Dulu sama sekali tidak terbayangkan akan ada bujet film mencapai ratusan juta dollar, namun hal ini diwujudkan James Cameron dalam filmnya “Titanic“ yang menelan biaya sampai 200 juta dollar (walaupun hasil yang diperleh mencapai 1,83 Milyar dollar). Pada akhirnya studio-studio kecil mulai berfikir keras untuk bisa bertahan dalam kerasnya persaingan dalam industri perfilman. Hasilnya mereka mengambil celah di film-film ringan menghibur tanpa efek yang berlebihan, seperti komedi misalnya. Sejak kemunculan “American Pie” yang menghebohkan, genre comedy vulgar mulai banyak dilirik karena murah dan menghasilkan keuntungan yang besar, akan tetapi cerita yang dipakai sangatlah lemah. Begitu juga dengan film horror, kemunculan “Scream” yang sensasional banyak diekori oleh film-film sejenis (sayang sekali kebanyakan gagal), namun peminatnya masih tetap ada sehingga akan terus dibuat. Tentu yang paling fenomenal adalah penggunaan special effect sebagai bagian yang terintegrasi dalam produksi film. Kemunculan saga “Star Wars” dan “Terminator” serta film Spielberg yang sangat popular, “Jurrasic Park” membuat produksi film mulai beramai-ramai menggunakan jasa ini. Penonton pun sangat tidak keberatan dengan hal ini, mereka pun mulai berbondong-bondong lagi datang ke bioskop.
Akan tetapi, penggunaan teknologi ini tidak diimbangi dengan kualitas cerita yang memadai. Ada kalanya cerita terlalu dipaksakan, yang penting special efeknya menawan. Tak heran bujet film pun melembung. Sebenarnya menggunakan teknik ini mengandung resiko tinggi, sebab penonton sudah mulai kritis menilai sebuah film, apalagi dengan sudah mulai terbiasanya mereka dengan penggunaan special efek ini. Sehingga kadang film dengan special efek yang luar biasa pun bisa terjerembab di pasaran.
Memang ada beberapa film yang banyak menggunakan special efek yang sukses di pasaran. Tetapi kebanyakan memakai brand icon yang sudah terkenal dulu, yang paling mudah tentu saja film-film superhero. Mereka tidak perlu susah-susah mengembangkan karakter, cukup dipoles saja bagaimana aksi sang pahlawan menghajar lawan-lawannya. Fans yang selama ini cuma bisa berangan-angan pun sudah bisa mewujudkan angannya ke dunia film yang lebih nyata daripada yang selama ini cuma bisa mereka nikmati di buku atau komik. Perkemangan special efek ini juga mempengaruhi ajang gelaran Academy Awards yang menambahkan kategori baru untuk special efek yang pada umumnya didominasi oleh film-film komersil. Akan tetapi memang akan sangat jarang ditemui film yang mengandalkan efek yang maksimal mendapatkan gelar di kategori acting.
Kenyataan ini menyebabkan adanya perpecahan di kalangan penonton. Apakah mereka akan setia menikmati kualitas acting dengan dasar cerita yang kuat ataukah sekedar menikmati sebuah tontonan ringan yang kadang tidak perlu memikirkan logika untuk menikmatinya. Sayang sekali mayoritas penonton kebanyakan menjadi sosok yang kedua. Paradigma penonton mulai beralih dari menikmati sebuah film sebagai sebuah hasil karya seni menjadi menikmati sebuah tontonan ringan yang menghibur. Kualitas yang dinilai pun kualitas untuk menghibur penonton, bukan kualitas acting yang ditampilkan. Asalkan acting dan ceritanya gak jelek jelek amat, dibumbui dengan banyak special efek, hasilnya pasti memuaskan penonton.
Namun demikian, para sineas tetap menghargai dan menjunjung tinggi film dengan kualitas cerita dan acting yang prima. Sampai sejauh ini rata-rata penghargaan film (Oscar, Golden Globe, Cannes,dll) masih tetap memberikan penilaian yang objektif dan tidak terpengaruh kesuksesan film itu sendiri. Dan mungkin ada ajang yang lebih berprioritas mengutamakan kepopuleran sebuah film (MTV Movie Awards) dapat memberikan sedikit gambaran yang berbeda mengenai pandangan sebuah tontonan yang berkualitas.


0 komentar:
Posting Komentar